Oleh tempat ini aku tak terkesan. Tak pernah aku berkenalan dengan kebebasan. Sudah hampir mati aku dibunuh rasa bosan. Semua orang bertanya apa maksud perkataanku barusan. Yang pasti tak cukup kujelaskan dengan sekilas ulasan.
Di penjara ini aku bergelut dengan sejuta rutinitas. Rutinitas yang terus menyerangku bagai binatang buas. Rutinitas yang membuat semua tenagaku habis terkuras. Aku tak tahan lagi menghadapi keadaan yang terlalu beringas. Mirip seekor burung dalam dekapan yang tak terlepas. Seperti burung itu, aku ingin terbang bebas.
Hari-hariku sungguh mematikan. Mematikan segala kekreatifan. Mematikan segala pergerakan. Mematikan segala imajinasi dalam angan. Di sinilah aku terpuruk, bahkan membusuk dalam keterbatasan.
Hari ini adalah hari terakhir saat aku akan melepas segala rasa penat dari rutinitas yang telah kujalani bertahun-tahun. Yang meninggalkan rasa sesal menahun. Aku sudah kehilangan banyak nada yang mengalun. Yang bisa menenangkan jiwa bahkan meredamkan emosi sekalipun.
Selama ini aku terperangkap dalam sebuah penjara fana. Orang-orang biasa menyebutnya sekolah. Tapi bagiku sekolah hanyalah sekedar penjara yang menyiksa dan memaksaku untuk bergelut dengan segala kegiatan yang memuakkan. Bangun pagi - belajar - tugas - ujian - les ini - les itu - pulang malam - dan begitu seterusnya. Tenaga diforsir habis-habisan tanpa kompromi untuk sesuatu yang sama sekali tidak aku suka.
Hari ini memang hari yang sangat dinantikan bagi semua siswa kelas tiga SMA. Dalam ketenanganku, aku bisa melihat bentuk-bentuk wajah panik, tegang, senang dan bahkan takut bercampur menjadi satu. Sedikit mengerikan bagiku melihat begitu banyak ekspresi ada pada satu wajah yang lugu. Bayangkan saja pipi kiri ke atas, pipi kanan ke bawah, jidat mengkerut, bola mata berputar-putar, hidung kembang-kempis, bibir masuk ke dalam dan masih berusaha tersenyum untuk menutupi kegusaran hati itu. Astaga, membayangkan saja sudah lelah, letih, lesu.
Irama debaran jantung tak beraturan juga begitu jelas terdengar di sekitarku. Bila tak cepat diumumkan, aku tidak yakin bangunan sekolah akan bertahan lama. Mungkin bisa segera roboh oleh dasyatnya getaran debaran jantung ratusan siswa itu. Pemumuman kelulusan seolah menjadi satu-satunya penentu hidup mereka ke depan. Ironis memang, tapi ya sudahlah, toh peraturannya memang seperti itu. Toh anak-anak juga terlihat menikmati situasi menegangkan seperti itu.
Seketika aku disadarkan dengan kemeriahan tepukan tangan dan semua pandangan telah mengarah padaku. Aku terperanjat kaget, menaikkan sandaranku dan melongok bingung. Aku yang tak tahu apa-apa, tak dapat menyembunyikan ekspresi kaget yang begitu jelas terlihat oleh gerak gerik tubuhku.
“Ada apa ini ?” bisikku pada teman di sampingku.
“Cepat maju! Kau dipanggil sebagai peraih NUN tertinggi. Selamat ya!” jawabnya sambil mendorongku untuk maju.
Langkah kakiku bergerak lambat sambil otakku terus mencerna maksud dari kata-kata temanku tadi yang sebenarnya sudah cukup jelas. Ya mungkin aku hanya ingin meyakinkan diri lagi saja. Mungkin ini bisa menjadi kebanggaan bagi kedua orangtuaku yang berprofesi sebagai dokter. Kebanggan bagi orangtuaku, bukan aku. Karena sesungguhnya keinginan dan tujuan kami sangat berbeda.
‘Peraih NUN tertinggi?’
Wow! Sepertinya ini adalah posisi yang diinginkan dan mungkin sudah diincar oleh beberapa siswa. Sejujurnya aku tidak pernah bermimpi untuk dapat memperoleh posisi ini. Bahkan untuk sekedar memikirkannya pun tidak. Tidak sama sekali. Aku juga tidak merasa bangga dengan hasil ini. Apa artinya sebuah nilai bila itu hanyalah hasil dari tembakan yang aku pesatkan ke begitu banyak pilihan huruf di kertas ujian? Kadang, aku bahkan tidak tahu betul pertanyaan apa yang ada di lembar soal. Maklum, aku tidak cukup rajin untuk membaca berulang-ulang sekumpulan kata yang rumit untuk dimengerti.
Sebenarnya, aku memang termasuk anak yang cukup pintar dan cerdas, tidak sedikit temanku yang meminta bantuan untuk mengerjakan tugas mereka atau hanya sekedar bertanya hal kecil yang tidak mereka mengerti. Pelajaran apa pun itu, aku pasti bisa memecahkan segala kesulitan yang ada dalam setiap soal. Entah mengapa, aku tidak pernah bangga dengan hal itu. Banyak juga teman yang iri dengan nilai-nilaiku yang sangat menonjol. Dan lagi-lagi aku tidak pernah peduli dengan itu. Terlebih bila itu sudah menyangkut nilai. Bagiku nilai hanyalah hasil dari rumusan-rumusan rumit yang hanya akan memusingkan semua pihak. Guru pusing menghitung. Murid pusing pula menerima hasil yang mungkin kurang memuaskan untuk mereka. Lalu mengapa seakan orang-orang disini suka sekali dipusingkan dan memusingkan diri mereka sendiri? Aku pun pusing bila harus menjawabnya. Ahh sudahlah, toh aku juga tidak pernah pusing memikirkan nilai-nilai itu. Yang jelas aku selalu menanamkan dalam diriku bahwa nilai bukan satu-satunya tolak ukur penentu pintar atau bodohnya seseorang.
Kalau saja dulu bukan karena orangtua, aku tidak mungkin melanjutkan pendidikanku ke SMA yang berlimpah teori-teori sampah tak berguna. Kalau saja dulu bukan karena orangtuaku yang berprofesi sebagai dokter itu, aku pasti sudah melanjutkan pendidikanku ke SMK kesenian. Ya, tapi aku memang telah memilih untuk mengikuti apa kemauan mereka.
Dan sekarang sudah waktunya semua drama ini berakhir bagus. Aku sudah lulus. Sudah saatnya untukku menentukan tujuanku sendiri dan bebas memilih apa yang kumau dengan mulus. Menghidupkan kembali segala kekreatifan. Menghidupkan kembali segala pergerakan. Menghidupkan kembali segala imajinasi dalam angan.
Saat ini yang aku pikirkan hanyalah bagaimana aku dapat menghasilkan sesuatu yang nyata. Daripada sekedar mempraktekkan teori-teori yang hanya dicekokkan padaku dulu tiap hari di sekolah. Yang aku tahu, aku merasakan gairah yang berbeda saat aku dihadapkan dengan kuas, cat dan kanvas. Tiga benda ini seolah telah menjadi satu paket yang membawaku pada kekuatan gairah itu sendiri. Semakin kuat dan kuat gairah itu membayangi. Yang aku tahu, aku begitu lihai menumpahkan isi otakku melalui goresan-goresan di atas kanvas putih. Dan tiba-tiba jadilah sebuah karya indah yang membuat mata ini tak lelah memandangi.
Aku bisa mendapatkan hasil yang nyata pada setiap lukisanku. Aku bisa masuk dalam situasi ditiap goresan yang tak kaku. Terasa nyata, meski sebenarnya palsu. Ya palsu, karena apa yang ada di lukisan itu tidak benar-benar ada betul. Hanya tumpukan imajinasi pilu. Tapi kepuasan batin takkan terbeli oleh apapun itu.
“Sayang, apa kamu sudah memutusakan dimana kamu akan kuliah?”
Pertanyaan Ibu sontak membuyarkan lamunanku. Angan-anganku.
“Eeehhmmm... Sudah Bu, aku sudah memutuskan untuk berkuliah di...”
“Waaahhh, belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, Ibu lebih dahulu memotong, pasti universitas pilihan anak Ibu universitas dengan jurusan kedokteran yang terbaik di kota ini ya?”
“Tenang saja sayang, Ayah dan Ibu sudah mempersiapkan semuanya. Ayah senang sekali kamu bisa mengikuti jejak ayah dan Ibu. Ayah yakin kamu bisa jadi dokter yang hebat nantinya,” Ayah melanjutkan kalimat Ibu.
Aku hanya tertunduk lesu, terdiam bisu. Sejenak merenung. Lalu lama murung. Dan semakin lama pikiran ini merelung. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku, bahkan sampai jejak kaki Ayah dan Ibu hilang dari pandanganku.
Ternyata drama ini belum berakhir. Bahkan aku baru saja memulainya. Lagi.
Kalau saja aku menjelaskan lebih dulu apa yang kumau. Kalau saja aku punya keberanian untuk mengatakan semua itu. Kalau saja Ibu tidak memotong kata-kataku. Kalau saja mereka mau... Kalau saja..... Belum selesai aku berpikir, tiba-tiba aku sadar dan bertanya dalam hati, ‘apa yang dipotong?’ Sesungguhnya ibu tidak pernah memotong kalimat itu. Aku memang tidak pernah mengatakan apapun pada ayah dan ibu. Bukan sekali ini mereka menanyakan pertanyaan yang sama. Tapi jawabanku juga selalu sama, “Aku akan berkuliah di...” Tidak pernah selesai terjawab sempurna. Karena memang kalimat itu selalu berhenti sampai di situ. Karena memang aku tidak pernah melanjutkannnya. Karena memang aku selalu diam sebelum kalimat itu benar-benar selesai.
Sesaat keyakinanku begitu kuat memuncak. Tapi perlahan luntur oleh pertanyaan-pertanyaan mendesak. Aku tak punya keberanian mendengar tanggapan apa yang akan orangtuaku beri. Aku tak lebih dari seorang pecundang bagi diriku sendiri.
Hidup memang selalu dihadapkan dengan pilihan. Bagaimana bila aku tak pernah memilih untuk mendapatkan apa yang kuinginkan? Akankah ada lagi kesempatan? Atau selamanya menjadi angan?